Ancaman Nyata, 60 Persen Wilayah Indonesia Endemis Rabies

Paramedis dari pusat kesehatan hewan (Puskeswan) Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian, Kota Jakarta Selatan Selatan menyuntikkan vaksin anti rabies kepada seekor anjing secara gratis di Petukangan Selatan, Jakarta, Rabu (15/9/2021). (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)

Editor: Yoyok - Rabu, 28 September 2022 | 19:30 WIB

Sariagri - Sebanyak 60 persen dari total wilayah Indonesia masih mengalami situasi endemis rabies sehingga pemerintah agar serius untuk mengatasinya. Virus rabies itu ditularkan melalui air liur hewan penderita rabies pada gigitan hewan penular rabies (HPR) atau luka yang terbuka.

Penularan rabies pada manusia utamanya terjadi akibat gigitan anjing sebanyak 98 persen serta kucing atau kera sebanyak dua persen.

Hal itu disampaikan Direktur Pasca-Sarjana Universitas Yarsi, Prof Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Rabu (28/9/2022).

“Rabies adalah masalah kesehatan penting yang perlu ditangani bersama. Hari Rabies Sedunia 28 September ini perlu diikuti dengan kegiatan nyata di lapangan, karena sekitar 60 persen wilayah Indonesia masih merupakan daerah endemis rabies,” kata Tjandra.

Prof Tjandra yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tersebut menyebutkan sekitar 60 persen wilayah Indonesia masuk dalam situasi endemis rabies, karena dari 34 provinsi setidaknya ada 26 di antaranya masuk masih mengalami endemis rabies.

Sementara itu, hanya delapan provinsi yang sudah bebas dari rabies. Tjandra menyebutkan Bali menjadi salah satu provinsi dengan kasus dan kematian tertinggi akibat rabies, sehingga pada tahun 2022 harus mendapatkan perhatian lebih mengingat puncak Presidensi G20 Indonesia akan dilaksanakan dalam waktu dekat.

Sedangkan situasi di luar negeri, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah melaporkan rabies ditemukan di lebih dari 150 negara di dunia. Akibat rabies, puluhan ribu kematian di dunia ditemukan dengan lokasi yang mendominasi adalah region Asia dan Afrika.

Dengan ancaman nyata akibat rabies, Tjandra meminta setiap pihak memahami bila rabies disebabkan oleh virus rabies dari family Rhabdoviridae yang menyerang susunan saraf pusat pada manusia dan hewan.

Virus rabies itu, ditularkan melalui air liur hewan penderita rabies pada gigitan hewan penular rabies (HPR) atau luka yang terbuka. Penularan rabies pada manusia utamanya terjadi akibat gigitan anjing sebanyak 98 persen serta kucing atau kera sebanyak dua persen.

“Penyakit ini dapat dicegah dengan penanganan kasus gigitan hewan penular rabies sedini mungkin. WHO menyebutkan bahwa pemutusan penularan dapat dilakukan dengan vaksinasi pada anjing dan juga mencegah terjadinya gigitan anjing,” katanya.

Menurut Tjandra rabies yang masuk ke dalam penyakit zoonosis memerlukan pendekatan one health, sebagai upaya penanggulangan yang tepat karena dapat mengajak semua pihak untuk berkolaborasi dan berkoordinasi terkait program dan kegiatan kesehatan manusia, kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan.

Baca Juga: Ancaman Nyata, 60 Persen Wilayah Indonesia Endemis Rabies
Himpunan Peternak Ungkap Impor Mandiri Vaksin PMK, Minggu Depan Datang

Dengan demikian, strategi penanganan kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) bisa dilakukan melalui tiga aspek yakni meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan melalui peningkatan jumlah rabies center sebagai pusat pelayanan kasus GHPR dan pusat promosi kesehatan rabies.

Sedangkan cara kedua yakni dengan melakukan pelatihan tenaga kesehatan, dalam tata laksana kasus GHPR.

Aspek kedua menyangkut meningkatkan ketersediaan dan distribusi logistik vaksin anti rabies (VAR) dan serum anti rabies (SAR). “Aspek strategi ketiga adalah penguatan jejaring lintas program dan lintas sektor untuk penanganan kasus GHPR terpadu,” tuturnya.